STUDI TASAWUF
Pendahuluan
Islam sebagai agama
yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas sebagai kebutuhan
manusia. Selain menghadapi kebersihan lahir juga menghendaki kebersihan batin.
Lantaran penelitian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek
batinnya.
Tasawuf merupakan
bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani
manusia yang selanjutanya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek
rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoteric dari diri
manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thoharoh yang memusatkan perhatian pada
pembersih aspek jasmani atau lahiri yang selanjutnya disebut sebagai dimensi
eksotrik.
Dari suasana demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, koropsi, kolusi, penyalagunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan sebagainya. Untuk mengatasi masalah ini tasawuf dibina secara intensif tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.
Dari suasana demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, koropsi, kolusi, penyalagunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan sebagainya. Untuk mengatasi masalah ini tasawuf dibina secara intensif tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.
Pengertian
Istilah-istilah Kunci
Dalam
teori tentang pengertian tawasuf baik secara etimologi atau secara istilah,
para ahli berbeda pendapat. Secara etimologi pengertian tasawuf dapat dilihat
menjadi beberapa macam pengertian, seperti di bawah ini:
1. Tasawuf
berasal dari kata suffah atau suffah al masjid, artinya serambi
masjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di masjid Nabawi yang
didiami oleh sekelompok sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai
tempat tinggal. Mereka dikenal dengan ahli suffah.
Mereka adalah orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah
serta meninggalkan usaha-usaha duniawi.[1]
2. Tasawuf
berasal dari kata shafa. Kata shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga
menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi
orang-orang yang bersih atau suci. Maksudnya adalah orang-orang yang mensucikan
dirinya di hadapan Tuhan-Nya.
3. Istilah
tasawuf berasal dari kata shaf . Makna shaf ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu
berada di saf paling depan.
4. Istilah
tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang dari Shufah.
5. Tasawuf
dinisbahkan dengan kata istilah bahasa Grik atau Yunani, yaitu saufi. Istilah ini disamakan maknanya
dengan kata hikmah yang berarti
kebijaksanaan. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Mirkas, yang kemudian diikuti
oleh Jurji Zaidan. Jurji Zaidan menyebutkan bahwa para filsuf Yunani dahulu
telah menegaskan pemikiran atau kata-kata yang dituliskan dalam buku-buku
filsafat yang penuh mengandung kebijaksanaan. Ia mendasari pendapatnya dengan
argumentasi bahwa istilah tasawuf tidak ditemukan sebelum ada masa penerjemah
kitab-kitab yang berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Pendapat ini didukung pula
oleh Nouldik yang mengatakan bahwa dalam penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa
Arab terjadi proses asimilasi. Misalnya orang Arab mentransliterasikan huruf sin menjadi huruf shad.seperti dalam kata tasawuf menjadi tashawuf.
6. Tasawuf
berasal dari kata shaufanah, yaitu
sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu dan tumbuh di padang pasir di tanah
Arab. Ini dilihat dari pakaian kaum sufi
yang berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaanya.[2]
Selain dari keenam
pengertian di atas pengertian tasawuf merupakan bentuk masdhar dari kata suf
yang berarti wol, yaitu untuk menunjukan penggunaan jubah wol (lab al-suf). Kata suf mnggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan
dunia. Berdasarkan itu, tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan
selalu bersikap kebajikan. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah
akhlak mulia.[3]
Menurut
istilah pengertian tasawuf banyak
diformulasikan oleh para ahli yang satu sama lain berbeda sesuai dengan seleranya
masing-masing, antara lain:
1. Al-Jurairi
berpendapat tasawuf yaitu memasuki ke dalam segala budi (akhlak) yang bersifat
sunni, dan keluar dari budi pekerti yang rendah
2. Al-Junaidi
berpendapat tasawuf adalah bahwa yang hak adalah yang mematikanmu, dan haklah
yang menghidupkanmu. Dalam ungkapan lain Al-Junaidi mengatakan tasawuf adalah
beserta Allah tanpa adanya penghubung.
3. Abu
Hamzah memberikan ciri terhadap ahli tasawuf, Tanda sufi yang benar yaitu berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri
setelah dia bermegah-megahan, menyembunyikan diri setelah dia terkenal, dan
tanda sufi palsu adalah kaya setelah
dia fakir, bermegah-megahan setelah dia hina, dan tersohor setelah dia
bersembunyi.
4. ‘Amir
bin Usaman Al- Makki mengatakan tasawuf adalah seorang hamba yang setiap
waktunya mengambil waktu yang utama.
5. Muhammad
Ali Al-Qassab mendefinisikan tasawuf adalah akhlak yang mulia, yang timbul pada
masa yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia.
6. Syamnun
mendefinisikan tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki
sesuatu.[4]
7. Ibnu
Khaldun mendefinisikan tasawuf adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudia di dalam agama. Asalnya ialah tekun
beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap
Allah semata, menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang
selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda, kemegahan, dan
menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat
dan ibadah.[5]
Selain pengertian di
atas, tasawuf dapat didefinisikan dari tiga sudut pandang. Pertama, Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Jika
dilihat dari sudut pandang ini, tasawuf adalah segala upaya mensucikan diri
dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya
kepada Allah Swt. Kedua, sudut pandang
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Berdasarkan sudut pandang manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang tasawuf adalah upaya memperindah diri
dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Ketiga, sudut
pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Dalam sudut pandang ini, tasawuf
didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang
dapat mengarahkan jiwa untuk selalu tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhan.[6]
Jadi, kalau kita
simpulkan dari beberapa definisi diatas tasawuf adalah ilmu yang mempelajari
usaha membersihkan diri, meperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada
ajaran agama, serta kesadaran fitrah yang dapat mengarahkan jiwa untuk selalu
tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, berjuang
memerangi hawa nafsu, tidak terbuai dengan hal-hal duniawi, dan akan tercermin
dalam sebuah akhlak mulia dari para
sufiyah atau orang yang mengamalkan tasawuf tersebut.
Syariat adalah pandangan
hidup (syara’), pegangan hidup (syari’ah), dan perjuangan hidup (minhaj) yang diwahyukan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan
dilaksanakan dalam hidup dan kehidupannya.[7]
Adapula yang berpendapat kalau syariat merupakan ajaran Islam tentang hukum Islam
atau peraturan yang harus dilaksanakan, atau ditinggalkan oleh manusia.[8]
Thariqat berarti jalan
atau metoda, sedangkan menurut istilah tasawuf berarti jalan atau petunjuk atau
perbuatan dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan
oleh Rasulullah, sahabat, para tabiin, turun temurun sampai pada guru-guru yang
bersambung dan berantai sampai kini.[9]
Dengan demikian, Inti
dari ajaran tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan tuhan
sehingga ia dapat melihatnya dengan mata hati, bahkan rohnya dapat bersatu
dengan roh tuhan.[10]
Sumber
dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Dikalangan
para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber
yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu:
1. Unsur
Islam
Secara
umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah
itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Alquran dan sunnah serta praktik
kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Alquran antara lain berbicara tentang
kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (lihat QS Al-Maidah
[5]:54); perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan diri memohon
ampunan kepada Allah Swt. (lihat QS tahrim
[66]: 8), petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di
manapun mereka berada (Lihat QS Al-Baqarah
[2]: 110) , Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya
(Lihat Qs Al-Nur [24]: 35).
Sejalan
dengan apa yang dibicarakan Alquran di atas, sunnah pun banyak berbicara
tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat beberapa teks hadis yang dapat
dipahami dengan pendekatan tasawuf, “Aku
adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan makhluk agar mereka
mengenal-Ku”. Hadis ini memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita
ini merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal dirinya
melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian, dalam alam raya ini terdapat
potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan
untuk mengenal-Nya, dan apa yang ada di alam raya ini pada akhirnya akan
kembali kepada Tuhan.
Hadis berikutnya menyatakan:
“Senantiasalah
seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah
sehingga Aku mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadikanlah Aku
pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk
berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kaki nya yang dia
pakai untuk beusaha, maka dengan Ku–lah dia mendengar, melihat, berbicara,
berpikir, meninju dan berjalan”.
Hadis
di atas memberi petunjuk bahwa antara manusi dengan Tuhan dapat bersatu. Diri
manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fananya makhluk sebagai
yang mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
2. Unsur
luar Islam
Di
dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai
urayan yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama
masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara
akademik mungkin bisa saja di terima, namun dalam segi akidah perlu adanya
kehati-hatian. Para orientalis barat menyimpulkan adanya unsur luar Islam yang
masuk ke dalam tasawuf, itu disebabkan karena secara historis agama-agama
tersebut sudah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab
yang kemudian masuk Islam.[11]
Unsur-unsur yang diduga mempengaruhi
tasawuf Islam itu selanjutnya dijelaskan
sebagai berikut:
a. Unsur
masehi
Dalam ajaran Kristen
ada paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam
literatur memang tulisan-tulisan tentang rahib-rahib
yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang
malam hari menjadi petunjuk jalan bagi khalifah-khalifah yang lewat, kemah
mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi mereka yang kemalaman, dan
kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makanan bagi musafir yang
kelaparan. Dari sini ada yang mengatakan bahwa zahid dan sufi Islam ketika meninggalkan dunia, memilih hidup
sederhana, dan mengasingkan diri dipengaruhi rahib-rahib Kristen ini.[12]
b. Unsur
Yunani
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia dimana perkembangannya dimulai
pada akhir Daulah Umayyah dan
puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berfikir filsafat Yunani ini juga telah
ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan
dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru
dalam tahap amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani
ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itupun telah berubah menjadi tasawuf
filsafat.[13]
Filsafat
mistik Pythagoras kita mendapati uraian yang mengatakan bahwa roh manusia
bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Jasmani merupakan
penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi, dan manusia harus membersihkannya
dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud,
untuk selanjutnya berkontemplasi.
Selain
itu ada pendapat lain bahwa masuknya filsafat ke dunia Islam adalah melalui
mazhab paripatetic dan neo-platonisme.
Mahjab paripatetic kelihatannya lebih banyak masuk
ke dalam bentuk skolatisisme ortodoks (kalam)
sedangkan untuk neo-platonisme lebih
masuk kepada dunia tasawuf.[14]
c. Unsur
Hindu/Budha
Dalam
ajaran Budha dinyatakan bahwa untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup
kontemplasi. Paham fana’ dalam
tasawuf hampir serupa dengan paham nirwana. Begitu juga dalam ajaran Hindu
juga dianjurkan agar manusia meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.[15]
Menurut
Qomar Kailani pendapat-pendapat ini
terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf ini berasal
dari agama Hindu/Budha berarti pada zaman Nabi Muhammad Saw. Telah berkembang
ajaran Hindu/Budha itu ke Makkah, padahal sepanjang sejarah belum ada
kesimpulan seperti itu.[16]
d. Unsur
Persia
Sebenarnya
antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan semenjak lama yaitu hubungandalam
bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan, dan sastra. Namun, belum ditemukan
argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan Persia telah masuk ke tanah
Arab, yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga
orang-orang Persia itu terkenal dengan ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada
persamaan antara zuhud di Arab dengan
zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq,
antara istilah hakikat Muhammad dengan paham Hormuz (Tuhan kebaikan) dalam
agama Zarathustra.[17]
Sejarah dan
perkembangan tasawuf dalam Islam mengalami beberapa perkembangan sebagai
berikut:
Abad kesatu dan kedua
hijriyah disebut pula dengan fase asketisme (zuhud). Sikap asketisme ini banyak dipandang sebagai pengantar
kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kawanan muslim yang lebih memusatkan
dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu
tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak
beramal, untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang
menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku
yang asketis.[18]
Pada abad ketiga
hijriyah. Pada abad inilah terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai
dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran
tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Tasawuf
yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap
tentang pengorbanan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada Khaliqnya, sehingga ketegangan kejiwaan
akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik.
b. Tasawuf
yang berintikan ilmu akhlak, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk
tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang dilengkapi
dengan riwayat dari kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi.
c. Tasawuf
yang berintikan metafisika, yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan
hakikat Ilahi, yang merupaka satu-satunya yang ada dalam pengertian yang
mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi
orang-orang yang akan tajalli
kepada-Nya.[19]
Pada abad keempat
hijriyah, ilmu tasawuf maju lebih pesat jika dibandingkan dengan abad ketiga.
Para ulama mengembanhkan ajaran tasawufnya masing-masing. Sehingga kota Baghdad
sebagai kota satu-satunya yang terkenal
sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu tersaingi
oleh kota-kota besar lainnya.[20]
Pada abad kelima
munculah Imam Al- Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasar
Alquran dan As-sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan
jiwa, dan pembinaan moral.[21]
Ia menyerang budaya teosofi falsafi yang dianut oleh banyak filsuf dan sufi falsafi. Al-Ghazali menandai era
tasawuf dapat diterima secara luas dikalangan sunni tanpa rasa takut dihukum
penguasa.[22]
Pada
abad keenam hijriah muncul kelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka
dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Pada abad
ketujuh mulai menurunnya gairah masyarakat Islam untuk mempelajari tasawuf. Hal
ini disebabkan oleh smakin gencarnya serangan ulama syariat memerangi tasawuf,
pemerintah mempunyai tekad untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia Islam
karena dianggap sumber perpecahan umat Islam. Pada abad kedelapan mengalami
kemunduran. Pada abad ini tidak terdengar lagi perkembangan atau pemikitran tasawuf.[23]
Variasi
Praktek Tasawuf dan Pengkajiannya
Para
sufi punya cara yang berbeda dalam
mengimplementasikan hidup dan ajaran tasawufnya. Pengalaman-pengalaman dalam mendekatkan diri pada Allah menjadikan
praktek tasawuf itu lebih bervariasi. Karena tujuan dari sufi itu berada sedekat mungkin dengan Tuhan, sehingga tercapai
persatuan, maka untuk mencapai tujuan
itu panjang dan berisi maqamat.[24]
Maqamat yang biasa disebutkan antara
lain:
1. Maqamat tawbah
2. Maqamat Al-Wara
3. Maqamat juhd
4. Maqamat faqr
5. Maqamat sabr
6. Maqamat tawakal
7. Maqamat rida
8. Maqamat mahabbah
9. Maqamat ma’rifah[25]
Pendekatan
Utama dalam Kajian Tasawuf
Ada
beberapa pendekatan yang dilakukan dalam kajian taswuf, yaitu:
1. Pendekatan
Tematik
Pendekatan
tematik adalah pendekatan yang mecoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan
tema-tema tertentu. Di antaranya uraian tentang fungsi tasawuf,
tingkatan-tingkatan kerohanian dalam tasawuf, dan perkembangan tasawuf. Di
dalamnya menyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan
dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
2. Pendekatan
Studi Tokoh
Kausar
Azhari Noor melakukan penelitian dibidang tasawuf dengan judul Ibn ’Arabi: Wahdat al-Wujud dalam
perdebatan, beliau menggunakan pendekatan studi tokoh. Penelitian ini cukup
menarik, karena dilihat dari segi paham yang dibawakannya, yaitu wahdat al-wujud telah menimbulkan
kontropersi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa paham
reinkarnasi atau paham serba Tuhan, yakni Tuhan menjelma dalam berbagai
ciptaanya, sehingga dapat mengganggu keberadaan zat Tuhan. Wahdat al-wujud yang berarti kesatuan wujud adalah lanjutan dari
paham hulul. Paham wahdat al-wujud ini timbul dari paham
bahwa Allah ingin melihat dirinya di luar dirinya, maka dijadikannya alam. Maka
alam ini merupakan cermin bagi Allah. Dikala ia melihat dirinya, ia melihat
kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena pada setiap
benda-benda itu terdapat sifat Tuhan.
3. Pendekatan
Kombinasi
Dalam
bukunya yang berjudul Pasang Surut Aliran
Tasawuf, Alberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara
pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan ini dia mencoba
kemukakan firman Tuhan, kehidupan Nabi, para zahid, para sufi, para
ahli teori tasawuf, amalan tasawuf, tarikat sufi
serta runtuhnya aliran tasawuf. Dari isi penelitian tersebut nampaknya Alberry
menggunakan analisa kesejarahan, yakni sebagai tema tersebut dipahami
berdasarkan konteks sejarahnya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai
atau mentrasformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern
yang lebih luas.[26]
Tokoh
dan Karya Utama dalam Kajian Tasawuf
1. Hamzah
Fansuri
Hampir
semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Fansuri termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Halaj. Karya beliau yaitu kitab AsrarAl- ‘Arifin fi Bayan ‘Ilm As-Suluk wa
At-Tauhid, Syarb Al-‘Asyiqin, Al-Muhtadi, Ruba’i Hamzah Al-Fansuri.[27]
2. Nuruddin
Ar-Raniri
Nama
lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid Asy-Syafi’i Ar-Rairi.
Karya-karya yang pernah beliau tulis
diantaranya, Ash-Shirath
Al-Mustaqim (fiqh berbahasa melayu), Durrat
Al-Fara’idh bi Syarhi Al-‘Aqa’id (akidah bahasa melayu), dan kitab-kitab
lainnya.[28]
3. Syekh
Abdur Rauf As-Sinkili
Nama
lengkap beliau adalah Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Fansuri. Dia merupakan murid
dari dua ulama sufi yang menetap di
Makkah dan Madinah. Karya beliau diantaranya Mir’at Ath-Thullab, Hidayat Al-Balighah, ‘Umdat Al-Muhtajin, Syans
Al-Mar’ifah,Kifayat Al-Muhtajin, Daqa’iq Al-Huruf, Turjuman Al-Mustafidh.[29]
4. Hamka
Nama
lengkap beliau adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Karya beliau yang berupa
catacan dalam bentuk buku mencapai 118 buah, dari Khatibul Ummah, Tasawuf Modern dan yang terakhir Tafsir Al-Azhar 30 juz.[30]
5. Al-Sulami
Nama
lengkapnya adalah Abu Abd al-Rahman Muhammad ibn al-Husain ibn Muhammad Musa
al-Sulaiman al-Azdi. Lahir di Khusaran pada tahun 325H. Di antara karyanya
adalah Adab al-Sufiyah, Tarikh Ahlu
Sufiyah, Suluk al-‘Arifin dan Tabaqat
al-Sufiyah.
Penutup
Tasawuf bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam.
Prinsip-prinsip ajaran Tasawuf telah ada dalam Islam semenjak Nabi Muhammad
diutus menjadi Rasul, bahkan kehidupan rohani Rasul dan para sahabat menjadi
salah satu panutan di dalam melakukan amalan-malannya. Ini merupakan sangkalan
terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Tasawuf merupakan produk asing yang
dianut oleh umat Islam. Inti dari ajaran tasawuf ialah mendekatkan diri kepada
Allah dengan melalui tahapan-tahapan ajaran-Nya yaitu maqamat. Ajaran-ajaran tasawuf ini bersumber dari Alquran, hadis dan
perbuatan-perbuatan sahabat. Mulai dari ajaran dasar tasawuf, maupun tingkatan-tingkatan
yang harus ditempuh oleh seorang sufi yang
kita kenal dengan nama maqamat.
Tujuan tertinggi dari seorang sufi
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak
Taswuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Hamka.
Tasawuf modern (Jakarta: Republika,
2015).
Ismail. Perbankan
Syariah (Jakarta: Kencana prenada media grup, 2011).
Kafie,Jamaluddin. Tasawuf kontemporer (Jakarta: Republika, 2003).
M. Solihin dan Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka setia, 2014).
Nata,
Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter
Mulia (Jakarta: Rajawali Press, 2013).
Nata, Abuddin. Metodologi
Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2014).
Sihombing,
Buyung Ali dan Ikhwan Nugraha. Pendekatan
Studi Islam (Bandung: Tebe Agista Mandiri, 2016).
Syahidin,
Alma, Buchari dkk. Moral dan Kognisi
Islam (Bandung: Alfabeta, 2009).
Tamani HAG. Psikologi
Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia,
2011).
[1] Tamani HAG, Psikologi Tasawuf (Bandung:
Pustaka Setia, 2011), h.27.
[2] Rosihon Anwar, Akhlak Taswuf (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), h.143.
[3] Buyung Ali Sihombing dan Ikhwan Nugraha, Pendekatan Studi Islam (Bandung: Tebe Agista Mandiri, 2016), h.86.
[4] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf...,
h.146.
[5] Hamka, Tasawuf modern
(Jakarta: Republika, 2015), h.3.
[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h.288. Lihat juga Buyung Ali Sihombing dan Ikhwan
nugraha, Pendekatan Studi..., h.87.
Litat juga Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf
dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.155.
[7] Jamaluddin Kafie, Tasawuf
kontemporer (Jakarta: Republika, 2003), h.29.
[8] Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta:
Kencana prenada media grup, 2011), h.4.
[9] Syahidin, Buchari Alma, dkk., Moral
dan Kognisi Islam (Bandung: Alfabeta, 2009), h.247.
[10] Tamani HAG, Psikologi..., h.28.
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf...,
h.160.
[12] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf (Bandung: Pustaka setia, 2014), h.40.
[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf...,
h.161.
[14] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf..., h.47.
[15] Buyung Ali Sihombing dan Ikhwan Nugraha, Pendekatan Studi..., h.92.
[16] Abuddin nata, Akhlak Tasawuf...,
h.162.
[17] M.Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf..., h.50.
[18] Ibid., h.62.
[19] Ibid., h.63
[20] Buyung Ali Sihombing dan Ikhwan Nugraha, Pendekatan Studi..., h.93.
[21] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf..., h.65
[22] Tamani HAG, Psikologi
Tasawuf..., h.51.
[23] Buyung Ali Sihombing dan Ikhwan Nugraha, Pendekatan Studi..., h.94.
[24] Ibid., h.96.
[25] Tamani HAG, Psikologi
Tasawuf..., h.164.
[26] Buyung Ali Sihombing dan Ikhwan Nugraha, Pendekatan Studi..., h.99.
[27] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf..., h.246.
[28] Ibid., h.250.
[29] Ibid., h.252.
[30] Tamani HAG, Psikologi
Tasawuf..., h.300.
0 komentar:
Posting Komentar